Asal Mula Desa Jepitu Menurut Cerita Turun Temurun
Nama Jepitu berdasarkan cerita turun-temurun berasal dua kata yaitu, Joa
yang berati pohon Joa dan pitu berati tuju. Dua kata itu erat kaitanya
dengan kisah heroik Ki Gusti Wora-wari mengusir penjajah Belanda. Gusti
Wora-wari adalah seorang pengembara yang suka plesiran, ketika ia sampai di pesisir Wediombo datanglah pasukan Belanda yang hendak
menjadikan Wediombo sebagai pelabuhan dan hal itu tidak diinginkan oleh rakyat setempat, sehingga pecahlah perlawanan antara Ki Gusti Wora-Wari dengan para kompeni. Konon menurut cerita rakyat yang berkembang Wora-wari
berhasil mengusir
kapal dan menengelamkan tuju kapal ,Belanda di bawah pimpinan bernama kapten Jacob Khovler.
Alasan Belanda
menyerang perairan tersebut adalah ingin menjadika pantai wediombo sebagai
pelabuhan, hal ini di karenakan pantai Wediombo memiliki topografi yang paling
landai. Beberapa waktu kemudian datang orang Belanda
yang kemudian mencari ketuju kapalnya yang tengelam, sebelumnya Gusti Wora-wari
mampu menangkap apa yang akan terjadi setelah kapal tersebut ia tengelamkan. Ki
gusti Wora-wari kemudian menacapkan tuju tongkat di pesisir Wediombo dan
kemudian merubahnya manjadi pohon Joa berjulah tuju yang tumbuh berderetan. Keberhasilan Ki Gusti Wora-wora menjaga kedamaian desa,
kemudian melatar belakangi lahirnya upacara bersih desa dan Kekahan.
Upacara Kekahan ki
Gusti Wora-Wari rutin dilakukan setiap tahunya yaitu upacara Kamis Kliwon, yang
bulan dan tanggalnya tidak tetap. Upacara tersebut ditujukan sebagai
pengungkapan rasa syukur atas rizki yang di berikan oleh Tuhan, serta sebagai
peringatan atas keberasialan seorang tokoh yang dipercaya sebagai penyelamat
desa yaitu ki Gusti Wora-Wari. Tradisi kekahan dilakukan di tempat yang bernama
Pagersari yaitu suatu pekarangan kecil
yang dipercaya sebagi tempat paling aman untuk melakukan upacara tersebut.
Masyarakat desa Jepitu percaya bahwa Ki gusti Wora-Wari membawa tuah keberkahan
bagi desa mereka sehingga perlu bagi mereka mengadakan upacara kekahan. Selain mengenai Ki Gusti Wora-wari juga ada beberapa mitos yang
berkembang di masyarakat seperti cerita Jaka Tarub dan Nawang Wulan.Teradpat
beberpa tempat yang dianggap penting bagi masyarakt Jepitu yaitu, Pantai
Jungwok, Pantai Wediombo, Gunung Gede, dan Alas Santren.
Pantai Jungwok merupakan salah satu pantai yang dijadikan oleh masyarakat setempat sebagi tempat mencari penghasilan. Selain itu pantai ini memiliki ritual kebudayaan yang terkait dengan pantai sebelahnya yaitu Wediombo. Upacara adat tersebut bernama Upacara Ngalangi, dalam upacara tersebut diharuskan untuk sesajen ikan yang diambil harus dari pantai Jungwok. Nama Jungwok sendiri menurut Sedianto berasal dari kata jong yang artinya kapal, hal ini kemudian erat kaitanya dengan pendaratan Jacobus Coveler.
Pantai Jungwok merupakan salah satu pantai yang dijadikan oleh masyarakat setempat sebagi tempat mencari penghasilan. Selain itu pantai ini memiliki ritual kebudayaan yang terkait dengan pantai sebelahnya yaitu Wediombo. Upacara adat tersebut bernama Upacara Ngalangi, dalam upacara tersebut diharuskan untuk sesajen ikan yang diambil harus dari pantai Jungwok. Nama Jungwok sendiri menurut Sedianto berasal dari kata jong yang artinya kapal, hal ini kemudian erat kaitanya dengan pendaratan Jacobus Coveler.
Pantai Wediombo merupakan salah satu pantai yang juga dijadikan tumpuan
hidup bagi masyarakat setempat. Di pantai tersebut setiap tahunnya rutin di
adakan upacara Ngalagi yang merupakan symbol rasa syukur masyarakat setempat
atas rizki yang di berikan oleh Tuhan melalui berkah dari laut Wediombo. Di
pantai ini juga banyak mitos yang berkembang seperti, pernah dijadikan sebagi
tempat peristiwa dicurinya kain nawang wulan oleh Jakatarub.
Gunung Gede ialah tempat tertinggi yang digunakan
sebagai tempat untuk memantau perairan di laut selatan khusus di wilayah dusun
jepitu, setiap ada kapal yang lewat warga
memberi tanda bawasanya
ada Jong belanda yang mulai mendekat.
Alas Santren yaitu tempat yang digunakan sebagi sarana menganji ki Gusti wora wari. Dua tempat tersebut tidak ada bukti fisik yang berupa bangunan ataupun prasasti.
Sumber : Mbah Wugu dan Pak Sedianto.
Alas Santren yaitu tempat yang digunakan sebagi sarana menganji ki Gusti wora wari. Dua tempat tersebut tidak ada bukti fisik yang berupa bangunan ataupun prasasti.
Sumber : Mbah Wugu dan Pak Sedianto.
Komentar
Posting Komentar